Total Tayangan Laman

Minggu, 11 Desember 2011

Ekspedisi Telempong

Life is an adventure...begitu kata iklan di tivi.
Tak bosan-bosan kita berpetualang mencari sasaran lokasi baru untuk dijelajahi, tentu saja dengan kendaraan kesayangan kita yaitu : sepeda!
Kendaraan bebas polusi, ramah lingkungan dan menyehatkan.
Menggowes pedal sepeda sepertinya sudah menjadi ritual rutin bagi kita anggota Onthel Club Paiton setiap kali ada waktu dan kesempatan bersama.
Nggak perlu jauh-jauh, yang penting bisa memberikan semangat baru, pengalaman baru dan bisa bikin kita fresh kembali.



Berolahraga sambil berpetualang dengan sepeda untuk mencari lokasi-lokasi baru yang belum pernah dikunjungi selalu membangkitkan semangat baru dan gairah baru. Apalagi jika dilakukan bersama kawan-kawan yang memiliki kegemaran, visi dan misi yang sama. Pasti seru dan mengesankan.

Rute ke selatan rupanya sudah khatam bagi kita untuk dijelajahi. Kita khawatir kalau terlalu sering mondar-mandir di jalanan daerah Gondosuli, Pakuniran, Besuk dan sekitarnya nanti dikira petugas keamanan yang lagi patrol check, atau mereka akan bosen tiap hari harus melihat wajah-wajah kita ini hehehe.... :D

Berbekal informasi dari Pak Simon (anggota OCP yang kadang mau, kadang juga susah diajak nggowes) di daerah Banyuglugur juga ada air terjun (kok, mulai kemarin yang diposting air terjuuunn melulu).
Biarin dah...kita lagi seneng sama air terjun nih, enak adem.
Namanya air terjun Telempong! Aneh 'kan namanya?!

Rencana sudah disusun serapi-rapinya, jangan sampai start molor seperti biasanya.
Hari Sabtu, tanggal 10 Desember 2011, Jam 5 pagi (pagi apa siang ya...soalnya jam segini matahari udah nongol terang sekali di bumi Paiton) team ekspedisi Telempong berangkat tepat waktu. Karena ada personel kita yang katanya buru-buru mau ke Surabaya siang harinya, keberangkatan harus tepat waktu.
Semua sudah siap dengan tunggangan dan perlengkapannya masing-masing. Sebagai seksi dokumentasi, Zaenal sudah menyelipkan SD card 42 Giga di kamera SLRnya siap merekam setiap moment dan aktifitas selama perjalanan. Botol persediaan air minum pun telah penuh terisi. Tool set sudah di dalam tas, tekanan ban, kekencangan rantai, kampas rem depan dan belakang sudah di cek, semua harus benar-benar bisa diandalkan. Kita tidak ingin terjadi sesuatu ditengah perjalanan yang disebabkan oleh kondisi sepeda yang tidak prima.

Dengan penuh semangat layaknya si Bolang, kita berlima beriringan mengukur jalan menuju ke timur mencari target lokasi desa Telempong, Kecamatan Banyuglugur, Situbondo meski perut dalam keadaan kosong (belum sarapan).
Nama desa ini cukup unik. Entah darimana asal nama desa ini. Mengingatkan kita pada "sesuatu" yang biasa diolah menjadi pupuk kandang atau biogas hehehe.... piss men :D
Apapun namanya yang jelas desa ini ternyata menyimpan potensi wisata yang luar biasa.

Ramainya kendaraan yang melewati jalur pantura pagi itu tidak membuat nyali kita ciut. Hanya saja kita harus lebih bersabar dan lebih berhati-hati ketika berpapasan ataupun beriringan dengan mereka. Beberapa kali truk-truk pengangkut meubel, sembako, sepeda motor bahkan mobil menyalip kita. Kendaraan-kendaraan besar itu kadang tidak mau peduli dan merampas jalur sepeda kita yang sudah hampir jatuh ke tanah. Kalau sudah begini kita harus bersabar minggir sejenak untuk memberi kesempatan kepada mereka untuk lewat terlebih dahulu. Ditambah lagi ulah sopir-sopir bus yang nggak disiplin juga turut menyumbang bahaya dan polusi udara pagi itu. Ingin rasanya cepat-cepat segera keluar dari jalur maut itu dan menikmati segarnya udara pegunungan seperti ketika bersepeda ke jalur selatan (Pakuniran, Gondosuli dsb).
Tapi apa boleh buat, lokasi desa Telempong memang harus ditempuh melalui jalur pantura kurang lebih 14 kilometer dari markas OCP kita.

Medan terberat adalah ketika melewati tanjakan diatas PLTU Paiton. Sambil ngos-ngosan berusaha sekuat tenaga sepeda digenjot semaksimal mungkin demi menjaga gengsi sesama kawan OCP lainnya. Malu rasanya jika harus turun dan menuntun sepeda di tikungan yang menanjak ini sementara kawan yang lain mampu melakukannya. Meskipun saya tahu sebenarnya mereka juga habis-habisan mengeluarkan kekuatan tenaga dalamnya untuk mencapai puncak PLTU demi menjaga kredibilitas sebagai goweser sejati.
Dulu, dari puncak PLTU ini kita bisa melihat pemandangan PLTU Paiton yang indah dengan latar belakang lautan biru selat Madura. Apalagi pada malam hari, semakin terlihat mempesona dengan ratusan lampunya yang berpendar berkilauan memantul di air laut.
Tapi sekarang...jangan harap bisa melihat pemandangan seperti itu lagi. Karena di pagar-pagar pembatas disana sudah dikapling-kapling menjadi warung-warung yang menutupi pemandangan tersebut. Tempat itu kini menjadi semacam rest area bagi para pengelana jalur pantura.
Setelah melewati puncak PLTU (yang sekarang penuh warung -warung makan itu), untungnya jalan meluncur turun lumayan panjang sehingga kita bisa menghela napas dalam-dalam sambil mengendorkan urat-urat kaki yang terasa kejang setelah bekerja keras menginjak pedal.

Warung Blitar sudah menanti dengan menu-menu masakan JawaTimur yang menggugah selera. Sambil pesan nasi untuk bekal perjalanan, salah satu kawan kita yang dari tadi mengalami kontraksi perut, tidak menyia-nyiakan kesempatan itu untuk me-release beban berat di perutnya dan mengobati kerinduannya pada aroma toilet.

Tidak jauh dari warung Blitar, tepatnya barat Polsek Banyuglugur, jalan menuju desa Telempong terlihat. Setelah memastikan bahwa arah yang kita ambil tidak salah, perjalanan pun berlanjut. Lega rasanya bisa keluar dari jalan raya jalur pantura yang hiruk pikuk.
Pemandangan kini berubah menjadi bukit-bukit nan hijau dan tanaman Kosambi disisi kanan dan kiri jalan. Ada juga pepohonan lain seperti Jati, Asem dan Gmelina yang tumbuh bertebaran di lereng bukit. Jalanan beraspal itu seperti dipayungi pepohonan yang tumbuh di sepanjang jalan menuju Telempong. Teduh, hijau dan menyegarkan mata.
Dari jauh terlihat hutan menghijau kontras dengan langit yang biru bersanding dengan pegunungan berbatu padas yang berdiri gagah menyambut kedatangan kita.
Pohon-pohon kelapa berdiri menjulang seperti berlomba-lomba menggapai awan putih berarak-arak.

Jalan menanjak seperti episode - episode penjelajahan mencari air terjun sebelumnya tidak terlalu sering kita temui disini. Semua masih bisa kita lewati dengan gowes tanpa bersusah payah seperti ketika ke Pancor atau Antrokan. Mungkin karena rute yang kita lalui masih baru, belum pernah dilewati, dengan pemandangan yang memanjakan mata kita, perjalanan terasa sangat menyenangkan. Sehingga jarak 5 kilometer dari jalan raya tanpa terasa sudah terlewati.



Kita sudah sampai di ujung jalan aspal desa Telempong saat jam 7 lewat7 menit. Menurut pesan pak Simon (anggota OCP yang kadang mau, kadang susah diajak nggowes) dari sini perjalanan harus ditempuh dengan berjalan kaki.
Setelah minta ijin kepada salah seorang ibu yang sedang duduk diteras rumahnya, sepedapun diparkir di halaman rumah si ibu yang duduk sambil memencet-mecet tombol hapenya itu (heran deh, padahal di hape saya tidak ada sinyal sama sekali lho...).



Seperti biasa, lokasi air terjun yang kita datangi selalu berada di tempat yang tersembunyi, di balik bukit, di tengah hutan dan jauh dari pemukiman. Disinilah serunya berpetualang di alam bebas. Kita akan selalu mendapatkan pengalaman baru di setiap perjalanan yang kita lakukan.
Mulailah perjalanan dengan menyusuri pematang sawah melewati kebun cabe (lombok), jagung, singkong dan kelapa. Meniti hutan, mendaki bukit, melintasi sungai-sungai, menerobos semak belukar adalah hal yang biasa dalam perjalanan seperti ini.





Terdapat sungai kecil dengan debit air yang tidak terlalu besar di sepanjang perjalanan yang kita lalui. Saya yakin sungai ini adalah hilir dari air terjun Telempong yang sedang kita tuju.
Melihat debit airnya yang kecil, saya membayangkan pasti air terjunnya juga kecil.
Kata salah seorang penduduk disana, debit air sungai itu sekarang memang kecil setelah beberapa warga di atas air terjun memanfaatkan aliran air itu untuk mengairi ladang ataupun sawah mereka dengan cara menyudet aliran airnya.



Jam ditangan saya menunjukkan pukul 07.28, setelah melewati serumpun bambu apus di tepi sungai, dari jauh terlihat segaris putih membelah bebatuan padas yang dikelilingi oleh rimbunnya tanaman hutan. Cukup tinggi air terjun Telempong terlihat dari jarak kita berdiri.



Sesaat pemandangan indah itu menghentikan langkah kita. Saya yang saat itu berperan sebagai seksi dokumentasi, langsung mengabadikan pemandangan yang menakjubkan itu sebagai dokumen. Tapi perjalanan masih harus dilanjutkan karena lokasi keberadaan air terjun masih beberapa ratus meter lagi didepan sana. Dengan petunjuk cat arah panah warna putih pada batu-batu di tepi sungai( entah siapa yang memberi petunjuk-petunjuk dengan cat warna putih ini), kita mengikutinya hingga akhirnya sampailah kita di tempat yang di tuju.


Meskipun debit airnya tidak terlalu deras, air terjun Telempong ini cukup tinggi dan menarik sekali. Memiliki beberapa tingkatan dari atas ke bawah jika dilihat dari kejauhan. Biarpun lokasinya tersembunyi, ternyata air terjun ini sering juga dikunjungi oleh masyarakat sekitar, murid-murid sekolah, PRAMUKA, atau para pecinta alam.



Bekal nasi bungkus dari warung Blitar dengan lauk pilihan masing-masingpun kita santap bersama dibawah naungan pohon rindang di dekat air terjun dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena telah diberi kesempatan untuk menikmati dan mengagumi sebagian kecil keindahan ciptaanNya yang luar biasa ini. Menikmati keindahan alam, duduk beralaskan batu kali menyantap sarapan pagi sambil melepaskan lelah setelah bersepeda ria menempuh perjalanan. Lepas sudah semua kelelahan yang kita rasakan sebelumnya.



4 komentar:

  1. safety ridingnya mana???
    perhatikan safety walaupun cmn mngonthel bro

    BalasHapus
  2. waduh..ada polisi,nih
    kabuuur...

    BalasHapus
  3. Mantabss ocp jg sdh pny blogspot, menyaingi pnyq, hehehehe

    BalasHapus