Total Tayangan Laman

Selasa, 29 November 2011

Gowes dadakan yang Gagal

Agak memalukan untuk memposting perjalanan gowes kali ini. Selain gagal mencapai tujuan juga terjadi insiden kecil yang memalukan anggota OCP kita. Gara-gara terlalu narsis dan over eksyen, terjadilah tragedi celana robek ketika berpose didepan kamera.
Kurangnya persiapan dan jadwal keberangkatan yang terlalu siang menurut saya, akhirnya membawa perjalanan ini menjadi sia-sia. Kenapa saya sebut sia-sia, karena target yang dituju belum tercapai. Yaitu air terjun Pancor.


Tidak ada tujuan pasti ketika pagi itu Senin, 27 Nopember 2011 empat anggota OCP mengayuh sepeda menyusuri jalanan desa.
Seperti kecanduan bersepeda, pokoknya ada waktu senggang kita ngonthel bareng. Yang penting tetep latihan ngonthel dan berolahraga. Masih bagus kita kecanduan bersepeda daripada kecanduan narkoba, alkohol dsb yang bisa merusak badan ... hehehe :)

Kondisi polygon tunggangan saya sudah bisa diandalkan kali ini, tiga hari yang lalu sudah ganti ban luar roda depan dan belakang sekaligus dan juga as crank baru.
Kamera SLR baru sudah melingkar dipinggang Zaenal, helm baru warna biru juga sudah hinggap di kepala Ardiyan, sementara Haries yang punya senter baru tetap nekat memajang senternya distang depan meskipun jelas-jelas hari sudah terang benderang hahahaha.....Entah apa yang ada dalam pikiran teman satu kita ini??

Setelah blusukan dari kampung ke kampung sampailah kita di jembatan gantung yang menghubungkan desa Tanjung dengan desa Randu Merak yang terletak disisi barat. Cat warna kuningnya sudah agak pudar dan besi-besinya mulai karatan menandakan sudah saatnya diperbarui. Ramai juga yang wira wiri di jembatan ini. Mulai dari petani, anak sekolah, pedagang sayuran, ibu-ibu pengajian, guru-guru madrasah, bahkan becak pun bisa melintas di jembatan ini kecuali mobil. Hanya saja harus antri untuk bisa melintas karena jembatan ini tidak cukup lebar untuk jalur dua arah. Konstruksi jembatan yang dibentang pada tali seling memberi kesan artistik meski minim aksesori semacam Golden gate di Amrik sono atau jembatan sungai Mahakam yang baru saja runtuh itu.
Mulailah saya membidik dengan kamera SLR baru milik Zaenal dari seberang jembatan.
Natural sekali pemandangan pagi itu. Cukup beberapa kali jepretan saja untuk mengabadikan kesibukan di jembatan pagi itu.










Kitapun melanjutkan menggowes sepeda menjelajah jalan desa menyaksikan aktivitas pagi khas pedesaan. Ditengah perjalanan belum juga kami memutuskan kemana target gowes kali ini. Apa cuma keliling-keliling kampung atau hunting view buat memenuhi memory card kamera barunya Zaenal. Aroma masakan dari dapur rumah warga menambah sengsara perut kami yang melilit - lilit belum terisi. Rasa lapar semakin menjadi-jadi setiap kali hidung ini mencium bau ikan asin yang digoreng atau aroma sambel terasi yang menyengat. Belum juga nampak warung terdekat yang bisa kita hampiri. Memasuki desa AlasNyiur....entah dimana posisi desa ini dalam google map kami tidak tahu, sepeda terus digowes hingga tembus jalan raya Pakuniran-Besuk.
Jembatan terpanjang di Probolinggo ini menjadi saksi tragedi celana robeknya Haries.
Mungkin saking gembiranya dijepret kamera baru milik Zaenal, dia bergaya bak fotomodel di tiang pagar pembatas sisi jembatan. Bersama Ardiyan yang narsis habis sangat kompak berpadu pose dengan Haries. Saat kakinya menjejak di pipa besi pembatas jembatan tiba - tiba terdengar bunyi "kreekkkk" dari selangkangannya. Nampaklah aurat yang tak terlindungi oleh celana hijau Haries ke permukaan. Tak mampu menahan tawa kita berempat menyaksikan pemandangan yang tak senonoh itu. Sambil gelisah dan pucat pasi Haries sibuk menutupi auratnya yang terbuka lebar.














Disepakati untuk sarapan dulu di warung Bestari dekat jembatan. Wajah presiden pertama RI, Ir. Soekarno menghiasai salah satu sisi dinding warung itu. Entah kenapa pemilik warung tidak memajang foto presiden kita yang sekarang. Apakah dia sedang putus asa dengan kepemimpinan presiden kita yang sekarang? Atau mungkin dia sangat mendambakan presiden yang kharismatik seperti Ir.Soekarno muncul lagi untuk kembali memimpin negara demi memperbaiki kondisi bangsa yang sedang carut marut ini.





Menu favorit nasi pecel plus tempe goreng sudah cukup mengenyangkan perut kita yang dari tadi keroncongan.
Sambil memohon sama si ibu pemilik warung, berharap mendapat pertolongan pertama untuk menyelamatkan rasa malu Haries karena nggak mungkin akan melanjutkan perjalanan dengan keadaan celana yang memprihatinkan seperti itu. Dengan wajah sumringah Haries menerima seperangkat alat jahit-menjahit dari si ibu pemilik warung. Mulailah dia dengan pekerjaan barunya sebagai penjahit dadakan di warung Bestari tempat kita makan.

Pelajaran bersepeda nomor satu hari ini, gunakan celana stretch sesuai standard bersepeda jika tidak ingin mengalami kejadian yang memalukan.

Iseng saja saya menanyakan lokasi air terjun Pancor. Dan si ibu memberi informasi yang cukup memberi sugesti positif bagi kita. "Cuma 4 kilo", katanya dengan logat Madura yang kental.
Oke...kita putuskan kesana!!
Setelah acara jahit menjahit selesai dan membayar semua makanan, kita meluncur sesuai instruksi si ibu. Tepat pulul 07:45 kita menuju desa Pancor melalui desa Gunggungan Kidul.







Pada awalnya perjalanan masih landai-landai saja. Hingga sampai di sebuah persimpangan kita membaca papan penunjuk arah ke air terjun Pancor dengan arah panah mengarah ke atas manandakan bahwa lokasi air tejun itu ada diatas sana. Dan memang jalan yang ditunjuk arah panah itu benar-benar menanjak. Agak ragu-ragu untuk mngambil jalur ini. Meskipun sudah beraspal namun terdapat lobang-lobang di sana-sini yang memaksa kita harus ekstra hati-hati mengingat disisi kanan kita terdapat jurang menganga. Baru beberapa meter sepeda kita genjot di jalan menanjak itu, serasa tenaga sudah habis. Istirahat sebentar disebuah vila kecil milik seorang Tionghoa yang berbaik hati kepada kita untuk mempersilakan mampir di padepokannya.


Heran juga melihat seorang etnis Tionghoa bermobil BMW tinggal di desa terpencil di lereng gunung seperti ini.
Dia menawari kita memetik buah nangka yang baunya mulai semerbak mewangi. Tapi sayang sekali kita tidak bisa menerima tawaran baik itu karena harus melanjutkan perjalanan agar tidak kesiangan.


Mulai dari papan penunjuk tadi rute terus naik seperti tiada akhir. Berkali-kali pula kita harus berhenti untuk mengumpulkan energi. Gowes lagi...dorong lagi...berhenti lagi...minum...tanya orang-orang sekitar yang ditemui ...gowes lagi...dorong lagi...begitu seterusnya.
Tanpa terasa jam sudah menunjuk pukul 10.00 siang!!
Kelelahan sudah mencapai puncaknya. Tapi belum ada tanda-tanda penampakan si air terjun Pancor ini.
Tidak seperti air terjun Antrokan yang pernah kita kunjungi dengan kontur tanahnya yang bervariasi. Kadang menanjak namun ada kalanya landai atau bahkan meluncur turun. Rute menuju Pancor jauh lebih ekstrim dari yang kita kira. Menanjak...menanjak..dan menanjak!
Hampir putus asa rasanya untuk meneruskan perjalanan. Ditambah lagi si Haries yang harus berspekulasi dengan waktu karena dia harus masuk kerja sore harinya. Antara lanjut atau berhenti. Ditengah kebimbangan dan penasaran untuk mencapai tujuan, kita masih sempat bertanya ke penduduk setempat mengenai lokasi air terjun.
"Dua kilo lagi, mas." tentu saja maksudnya dua kilometer lagi.
Padahal orang yang kita tanyai sebelumnya juga bilang kurang dua kilometer lagi.
Atau mereka akan bilang begini; "kira-kira sepuluh menit lagi sampai kok, mas".
Inilah hebatnya sugesti positif dari orang-orang yang kita temui, meskipun dalam kondisi putus asa dan kelelahan kita masih mampu melanjutkan perjalanan dengan harapan segera mencapai tujuan.
Sementara waktu terus bergerak merambat ke pukul sebelas siang.

Kita sudah sampai diujung aspal jalan ini setelah melewati jembatan kecil di desa Pancor.
Sepeda diparkir di salah satu halaman warung sambil terus mencari informasi letak lokasi air terjun. Perjalanan sudah tidak memungkinkan dengan sepeda karena kita akan mendaki bukit, masuk hutan dengan jalan setapak menanjak yang berliku-liku. Jadi lebih baik jika sepeda ditipkan di warung terdekat saja.

Medan yang dilalui berjalan kaki pun tidaklah ringan. Selain masih terus menanjak tidak ada tanda penunjuk arah yang terpampang disana. Salah mengambil arah tentu kita akan tersesat.
Beruntung kita berpapasan dengan penduduk yang sedang memikul dua keranjang durian yang bisa menunjukkan arah ke air terjun. Si bapak menawarkan duriannya yang ranum masak pohon. Sayang sekali kita sudah tidak berminat karena sudah terlalu lelah sehingga tidak mau lagi menambah beban penderitaan ini. Lagi pula siapa yang akan memikul dua keranjang durian itu jika ingin membawanya pulang?

Dengan kaki terseok-seok kita masih menapaki lereng bukit melanjutkan perjalanan.
Saya hampir tidak percaya, di pucuk gunung ditengah hutan dan akses jalan yang super sulit seperti itu ternyata ada perkampungan kecil dengan rumah-rumah sederhana dan penghuni yang lumayan banyak.
Hebatnya lagi kita menemui bangunan masjid permanen dengan ukuran yang tidak terlalu besar berlantai keramik.
Subhanallah....

Setiap warga yang melihat kita menatap heran penuh tanda tanya. Namun masih menyimpan keramahan dari tatapan aneh mereka. Inilah ciri khas bangsa Indonesia yang sangat terkenal hingga ke manca negara. Penduduknnya yang ramah dan santun. Sapaan kita juga dijawab dengan ramah oleh mereka. Sewaktu kamera saya membidik ke arah salah seorang warga, seperti melihat hantu saja orang itu langsung lari sembunyi. Mungkin malu atau takut jadi terkenal 'kali ya?? :D

Setelah melewati masjid di tengah hutan itu perjalanan masih harus ke timur lagi. Sepuluh menit yang kesekian kali dari orang kesekian kali pula yang kita tanyai sudah terlewati. Kepastian akan letak si air terjun belum juga terendus. Hari semakin siang dan panas. Akhirnya kita menyerah, memutuskan untuk tidak melanjutkan pencarian air terjun Pancor. Kelelahan fisik dan mepetnya waktu yang ada membuat kita harus menghentikan perjalanan hanya sampai di sebuah pematang sawah yang kata seorang ibu pencari rumput disana, jaraknya tinggal beberapa menit lagi dari situ.
Biarlah..., mungkin lain kali kita akan kembali kesana dengan persiapan yang lebih baik dan waktu yang lebih pas.




Pelajaran bersepeda nomor dua hari ini, persiapkan sebaik-baiknya segala keperluan sebelum melakukan sesuatu jika tidak ingin pekerjaan menjadi sia-sia.



Posted by : OCPblog.

5 komentar:

  1. fotone paling atas ngilani weeee.....

    BalasHapus
  2. disesuaikan dengan judul artikelnya, mas bro.
    Maka dipilihlah gambar yang juga memalukan.

    BalasHapus
  3. sepedahan emang bikin ketagihan, apalagi kalo lihat sapi mandi di sungai,,,

    BalasHapus
  4. sapi lanang...sapi lanang...

    BalasHapus
  5. iki cerito opo yo ?...

    BalasHapus